Masjid Peninggalan Sejarah Di kota Tangerang Bernama Masjid Jami Kalipasir

Masjid Jami Kalipasir yang terletak di Kota Tangerang, Banten, memiliki sejarah panjang kesenian Islam di Tangerang. Masjid ini merupakan masjid tertua di Kota Tangerang. Dia sekarang berusia 445 tahun.

Terletak di Kota Sukasari, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang, Masjid Jami Kalipasir berdiri di tengah kawasan pemukiman. Masjid ini memiliki warna krem ​​pada dinding luarnya dan putih pada bagian dalamnya. Ubin berwarna hijau.

Bangunan masjid sebenarnya menghadap ke barat, menghadap ke Sungai Cisadane untuk selamanya. Namun, tidak ada pintu depan masjid. Di depan masjid yang merupakan halaman luas terdapat banyak kuburan.

Jamaah yang akan memasuki tempat ibadah, bahkan melakukan perjalanan ke kuburan yang ada, dapat masuk melalui pintu utara dan selatan masjid.

Begitu masuk ke dalam masjid, jamaah akan melihat empat tiang hitam kokoh berdiri di tengah Masjid Kalipasir Jami. Didirikan pada tahun 1576

Penasihat Masjid Jami Kalipasir DKM Achmad Sjairodji (71) menyatakan bahwa masjid ini ditetapkan sebagai masjid pada tahun 1576. Sjairodji mengatakan tidak ada yang tahu siapa yang menyerbu gedung sebagai masjid.

Namun, lanjut dia, yang memutuskan mendirikan masjid pada tahun 1576 adalah Tobari Ashajili, pendeta Kota Tangerang dan pemilik pesantren Periuk, Kota Tangerang.

“Tahun ini juga menandai tahun didirikannya masjid Ulama. Masih ada orangnya sampai sekarang, yaitu KH Tobari Ashajili,” kata Sjairodji dalam pertemuan, Rabu (21/4/2021).
Dimulai dengan toilet kecil

Sebelum diresmikan sebagai masjid pada tahun 1576, Masjid Kalipasir Jami telah digunakan sebagai tempat ibadah selama satu abad sebelumnya, tepatnya pada tahun 1412.

Saat itu, Sjairodji menjelaskan, seorang ulama Islam bernama Ki Tengger Jati berasal dari Kerajaan Galuh Kawali. “Mereka datang ke sini dengan maksud menyebarkan Islam. Pertama, dia belajar Islam dari seorang guru bernama Syekh Syubakir,” kata Sjairodji.

Ketika Raja Tengger Jati tiba di Kota Tangerang, tanah yang terletak di Kota Sukasari, sekarang menjadi lokasi Masjid Kalipasir Jami, masih berupa hutan.

Ulama Islam kemudian membuat bendera kecil untuk tempat tinggal dan tempat ibadah. Sjairodji menyatakan: “Selama empat tahun, 1416, tempat ibadah ini ditambahkan.

“Kenapa melebar? Ini dampak dari Sungai Cisadane dulunya Sungai Cipamungkas. Ini (Sungai Cisasane) jalur transportasi,” tambahnya. Saking ramainya Sungai Cisadane, Masjid Jami Kalipasir yang berada di seberang sungai langsung ramai dikunjungi wisatawan.

Sjairodji mengatakan, banyak orang berhenti dan duduk di masjid. Alasan itu menyebabkan perluasan masjid. Ibadah dilanjutkan di Masjid Jami Kalipasir, hingga 1445 ketika seorang pendeta Persia mendirikan masjid.

Ulama besar itu bernama Said Hasan Ali Al-Husaini, atau lebih dikenal dengan Syekh Abdul Jalil. “Rencana awalnya bukan di sini, tapi di bagian lain Banten, tapi berhenti di sini. Dengan kedatangannya di sini, masjid ini berkembang,” kata Sjairodji. Sjairodji mengatakan masjid belum dipindahkan.

Sejak 1412 hingga sekarang, Masjid Kalipasir Jami telah digunakan sebagai pusat peribadatan umat Islam. “Belum pernah (dikonversi). Masjid ini masih masjid, untuk tempat beribadah orang. Dulunya digunakan sebagai jenazah, tapi tidak pernah dialihfungsikan,” katanya.
Salah satu pilar pemberian Sunan Kalijaga

Sjairodji mencatat bahwa empat tiang yang berdiri di depan masjid tidak pernah dibangun kembali. Bahkan, salah satunya adalah kado istimewa dari Sunan Kalijaga, salah satu tokoh agama Islam yang juga Wali Songo.

“Sejauh ini ada empat pilar sejarah,” kata Sjairodji. “Dalam konteks sejarah, salah satunya diberikan oleh Sunan Kalijaga,” tambahnya. Hingga 2018, katanya, tak ada yang tahu pilar apa yang merupakan pemberian Sunan Kalijaga.

Baru pada 2018, banyak ulama berkumpul di masjid. Mereka membahas pilar-pilar yang disediakan oleh Sunan Kalijaga. Sjairodji mengatakan salah satu pendeta mengetuk salah satu pilar dengan tangan. Kemudian pendeta mendengar suara yang berbeda dari salah satu pilar ketika dia mengetuk.

Pendeta percaya bahwa pilar yang membuat suara berbeda adalah hadiah dari Sunan Kalijaga. “Ini tiang sebelah kiri pemberian dari Sunan Kalijaga,” kata Sjairodji.

Sjairodji menambahkan, sebenarnya keempat pilar tersebut tidak memiliki arti khusus. Jumlah pilar yang ada juga tidak mewakili apa-apa. Namun, ada pula yang menggambarkan empat pilar yang mewakili para sahabat Nabi Muhammad.

“Misalnya, ini hanya contoh, ada orang yang disebut Khulafaur Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Ada yang menggambarkan di sana. Tolong jelaskan di sana, tapi pilar ini tidak masuk akal,” kata Sjairodji.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *