Suku Kulawi, Suku “Minoritas” di Sulteng

Negerisatu.id – Salah satu kelompok masyarakat yang tinggal di Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah adalah Anggota Kulawi (To Kulawi). Suku Kulawi mendiami Dataran Lindu . Suku ini merupakan “kelompok kecil” dibandingkan dengan suku Sulawesi Tengah lainnya.

Orang Kulawi tinggal di daerah Kalora di Tomado. Mereka berjumlah 19 keluarga, sejak tahun 1980 mulai bermigrasi dan tinggal di dataran Lindu. Selain itu, ada sekitar enam keluarga suku Kulawi yang tinggal di Desa Kangkuro, Kecamatan Tomado.

Pemukiman terbesar suku Kulawi selain di sekitar Danau Lindu, mereka juga tinggal di dataran Gimpu, dataran Kulawe dan daerah sekitar Sungai Koro (sungai Lariang).

Mereka telah tinggal di tempat-tempat ini sejak zaman prasejarah. Hal ini dibuktikan dengan penemuan-penemuan arkeologi, di antaranya dapat dilihat dewasa ini dalam kajian budaya megalitik.

Di masa lalu, beberapa kelompok kecil dari suku Kulawi juga dikatakan telah membentuk pemerintahan yang disebut Negara Kulawi dan telah menjadi pemerintahan besar di wilayah Sulawesi Tengah.

Bahkan pada tahun 1905 M masyarakat Kulawi angkat senjata melawan penjajah Belanda. Pertempuran terjadi di Bulu Momi. Masyarakat Kulawi pada waktu itu berada di bawah pimpinan seorang Kulawi yang terkenal di kota Kulawi, Towualangi, kadang disebut Taentorengke.

Berita yang paling membingungkan adalah bahwa tujuan Belanda adalah menjadikan Kulawi sebagai monarki. Dilaporkan bahwa pada tahun 1906 pemerintah kolonial Belanda memilih Towualangi sebagai raja negara bagian Kulawi yang pertama.

Dataran Lindu telah dimasukkan ke dalam wilayah administrasi Pemerintahan Kulawi oleh jajahan Belanda. Masih diperlukan untuk menemukan bukti nyata untuk cerita ini. dan menuliskannya di bagian khusus dari sejarah Kerajaan Kulawi.

Suku Kulawi memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan bertani. Mereka umumnya menanam padi di ladang dan kebun. Tanaman lain selain padi adalah jagung, kentang.

Selain itu, masyarakat Kulawi juga menanam kopi dan cengkeh. Pekerjaan lain yang mereka lakukan adalah berburu binatang, tetapi tidak sesering dulu.

Mereka biasanya berburu di sekitar hutan dekat kota tempat mereka tinggal. Suku Kulawi dalam percakapan mereka menggunakan bahasa Moma. Mayoritas masyarakat di Kulawi beragama Nasrani.

Alokasi situs tradisional untuk Lindu . asli

  • Suaka Ngata. Seluruh lanskap budaya Lindu terdiri dari puncak gunung.
  • Suaka Ntode. Area yang digunakan sebagai lahan pertanian atau pemukiman penduduk.
  • Suaka Nu Maradika. Juga dikenal sebagai Lambara, itu adalah tempat yang digunakan sebagai tempat berburu dan kadang-kadang juga digunakan sebagai padang rumput untuk satwa liar.
  • Sebut saja Sanctuary. Wiata dalam bahasa Lindu berarti jiwa atau roh. Suaka nu wiata merupakan tempat perlindungan yang tidak boleh dirusak. Tempat ini merupakan tempat konservasi.

Pakaian Adat Suku Kulawi

Pembuatan pakaian dari kulit kayu khususnya di wilayah Sulawesi Tengah telah ada sejak zaman Neolitikum. Adat pembuatan kulit kayu yang dipraktikkan dan dipraktikkan oleh masyarakat Kulawi dan Pandere Kabupaten Sigi dan masyarakat Lore Kabupaten Kantor Pos khususnya sebagai alat-alat pesta adat. Kain kulit kayu adalah sejenis kertas yang terbuat dari kulit pohon beringin, seperti kulit kayu Nunu, kulit kayu Ivo, kulit kayu Malo yang dibuat khusus, untuk menghasilkan pakaian yang digunakan sebagai pakaian sehari-hari atau pakaian adat, pesta atau digunakan dalam upacara requency.

Selama berabad-abad atau bahkan ribuan tahun yang lalu, masyarakat Sulawesi Tengah memiliki praktik budaya yang unik, yaitu produksi kain tekstil sehari-hari. Praktek ini terutama lazim di kalangan penduduk pegunungan, terutama di Lembah Bada, Distrik Lore Selatan, Lembah Behoa, Distrik Lore Tengah, Lembah Napu, Distrik Lore Utara dan Lembah Kulawi, Distrik Kulawi dan sekitarnya. Penyebaran kain salak merata di empat lembah dan sekitarnya yang saat ini terbagi menjadi beberapa kecamatan.
Di empat lembah ini, suku minoritas Lore dan Kulawi, pengolahan dan peningkatan produksi kain kulit kayu yang disebut juga Vuya atau Kumpe menjadi bagian penting dari aktivitas ekonomi dan kehidupan sehari-hari mereka. Tradisi budaya yang sudah berlangsung lama ini menjadikan Sulawesi Tengah sebagai salah satu penghasil kerajinan kulit kayu yang terkemuka.

Di Kulawi, kain kulit kayu juga dikenal dengan nama Kumpe atau Mbesa (kain adat), Rada e Bada, Hampi e Napu, dan Inodo e Besoa. Kata vuya sendiri diciptakan selama pendudukan Jepang sebagai fuya dan masih populer sampai sekarang. Kualitas dan bentuk vuya yang dihasilkan di keempat lembah tersebut sangat berbeda dan sangat berbeda. Di Bada, misalnya, serat kain antar sambungannya relatif kaku dan menghasilkan tekstur yang halus. Sedangkan di Kulawi, serat antar sambungannya terlihat tidak biasa, sehingga tampak agak keras dan tidak murni. Di masa lalu, kain kulit kayu digunakan di seluruh lembah untuk selimut dan pembagian ruangan, serta pakaian pria dan wanita, dan bahkan untuk pelana kuda.

Tidak ada informasi khusus tentang asal usul kain kulit kayu. Di Kulawi misalnya, banyak orang yang mengatakan bahwa pembuatan Vuya berasal dari lembah ini. Konon nenek moyang mereka berburu dan mencari lahan pertanian sambil menjual kain Vuya di lembah Bada. Kain ditukar dengan kerbau untuk rumah. Konon pada zaman dahulu kain kulit kayu tidak digunakan sebagai sandang (pakaian), melainkan hanya untuk menutupi bagian bawah tubuh (aurat) yang mereka sebut pewe. Belakangan, orang mulai membuat Komo, sejenis selimut. Saat itu orang belum tahu tentang pakaian. Tren pakaian baru menjadi berguna dengan kedatangan pedagang Portugis di daerah tersebut, dan kebiasaan pakaian yang diperkenalkan ke Portugis menginspirasi orang untuk membuat pakaian dari kulit kayu. Busana tradisional masyarakat Lembah Bada yang kental dengan nuansa Portugis terlihat dalam bentuk gaun dan gaun yang menyerupai gaun renda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *